In the distant shores of Wakatobi, a sparkling gem in South Sulawesi, Indonesia, a youth leader named LD. M. Syaiful Alam—Alam for short—champions a cause close to the hearts of his generation. His story tells the hopes and dreams of the youths in Wakatobi, hoping to conserve the beautiful islands. They hope that the islands will not remain as distant memories and folklore to be told for the future generations, but as a living testament of the past and of the future. Where the waters stay clear, where fish are abundant, where the white sandy beaches remain pristine, and where humans are living in harmony with nature.
This is the story of Alam and his youth conservation group, Kelompok Pecinta Alam Muda Wakatobi. To understand how Alam breathes life into this vision, we hear firsthand his story, the challenges, and the passion that fuels his conservation work.
Q: Could you introduce yourself and tell us about your role in your community or organisation?
A: My name is LD. M. Syaiful Alam, but I am usually called Alam. I am a youth leader of the Karang Taruna Ambeua, a youth organisation in Ambeua village, Kaledupa district, Wakatobi regency. Before that, I was a member of the Faturumbu Kaledupa Nature Lovers Group, commonly known as KPA Faturumbu Kaledupa.

Q: Bisakah Anda memperkenalkan diri dan menceritakan peran Anda di komunitas atau organisasi Anda?)
A:Perkenalkan, nama saya LD. M. Syaiful Alam, biasa di sapa ALAM. Saya merupakan anak muda yang berasal dari Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Disini, saya berperan sebagai ketua pemuda untuk karang taruna kelurahan Ambeua yang berada di kecamatan Kaledupa. Jauh sebelum itu, saya adalah kader dari Kelompok Pecinta Alam Faturumbu Kaledupa atau biasa disingkat KPA Faturumbu Kaledupa.
Q: What inspired you to join or form a youth nature club (Kelompok Pecinta Alam Muda Wakatobi)?
A: I joined KPA Faturumbu Kaledupa because at the time, I often saw members of the group conducting coastal clean-ups every weekend. They would occasionally invite us to join them, and back then, I was still in junior high school. They explained why this work was important and the impact of having our beaches and seas filled with trash. They also spoke about how this affects tourism—how it’s hard to promote our beaches, coral reefs, and abundant marine life if they’re surrounded by scattered waste. Since then, I’ve felt a strong desire to join and contribute to doing the same.

Q: Apa yang menginspirasi Anda untuk bergabung atau membentuk kelompok pecinta alam muda (Kelompok Pecinta Alam Muda Wakatobi)?]
A: Saya bergabung dengan KPA Faturumu Kaledupa karena saat itu saya sering melihat kader-kader KPA Faturumbu Kaledupa yang setiap akhir pekan melakukan bersih pantai dan beberapa kali mengajak kami untuk ikut bersih-bersih pantai yang saat itu saya masih duduk dibangku SMP. Mereka menjelaskan kenapa dan bagaimana dampak jika pantai dan laut dipenuhi sampah dan bagaimana wajah pariwisata kita dimana terkenal dengan pantai, terumbu karang dan biota laut yang melimpah di penuhi sampah yang bertebaran dimana-mana. Sejak saat itu saya sangat ingin bergabung dan membantu melakukan hal yang sama.
Q: From your perspective, what are the biggest environmental or marine challenges facing Wakatobi today?
A: One of the major environmental or marine challenges facing Wakatobi today is the spread and accumulation of waste in several areas, including beaches and coastal waters that are among Wakatobi’s top tourist destinations. This situation poses a threat by polluting the sea, coral reefs, and beaches.
Q: Dari sudut pandang Anda, apa tantangan lingkungan atau kelautan terbesar yang dihadapi Wakatobi saat ini?
A: Tantangan lingkungan atau kelautan yang dihadapi Wakatobi saat ini adalah penyebaran dan penumpukan sampah di beberapa titik termasuk di pantai dan laut yang menjadi tempat wisata unggulan wakatobi. Hal ini dapat mencemari laut, terumbu karang, dan pantai.
Q: You mentioned concerns about larval dispersal and marine waste—could you explain what you’ve observed?
A: After participating in ACB’s event in Jakarta last February and listening closely to the impressive presentations of the speakers regarding larval dispersal from several countries near our region, I began to worry—what if it’s not just larvae that are dispersing, but also marine waste? This concern is not without basis. During several coastal and marine clean-up activities that we’ve conducted, we often found various types of trash with packaging, labels, and languages that we had never seen before. From those experiences and the information I learned during the ACB event in Jakarta, a question started to trouble me: what if it’s not just larvae that are spreading—but also trash?
Q: Anda menyebutkan kekhawatiran tentang penyebaran larva dan sampah laut—bisakah Anda jelaskan apa yang Anda amati?
A: Setelah mengikuti kegiatan dari ACB di Jakarta pada Februari lalu dan mendengarkan serta menyimak pemaparan dari para narasumber yang sangat luar biasa hebat tentang penyebaran larva dari beberapa negara yang berdekatan dengan wilayah kami. Saya menjadi khawatir, bagaimana jika yang menyebar bukan hanya larva tetapi juga sampah mengalami penyebaran yang serupa? Kekhawatiran saya ini bukan tanpa dasar, karena beberapa kali kami melakukan bersih pantai dan laut, kami banyak menemukan beberapa jenis sampah dengan kemasan dan tulisan serta bahasa yang berbeda-beda yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Dari beberapa pengalaman-pengalaman tersebut dan materi yang saya simak saat mengikuti kegiatan dari ACB di Jakarta muncul kekhawatiran ‘ bagaimana jika bukan hanya larva yang menyebar tapi juga sampah’.


Q: How has marine debris impacted your community, your coastal environment, and your conservation efforts?
A: The impact on our community includes increased labor and costs. To clean up marine debris in various locations, we need to spend a significant amount—for example, renting boats as the main access to the clean-up sites, acquiring additional cleaning tools, and providing food for the volunteers involved. This reduces the effectiveness of our conservation efforts and makes them more difficult to carry out.
As for the impact on our coastal environment, it includes ecosystem degradation, pollution, damage to infrastructure, and threats to marine species and biodiversity.
Q: Bagaimana dampak sampah laut terhadap komunitas Anda, lingkungan pesisir Anda, dan upaya konservasi Anda?
A: Dampak untuk komunitas kami, tenaga dan biaya akan bertambah karena untuk membersihkan sampah laut yang berada di beberapa titik pembersihan, kami harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit seperti menyewa perahu sebagai akses utama ke titik yang akan dibersihkan, jumlah peralatan pembersihan yang harus ditambah, konsumsi dari rekan-rekan yang ikut terlibat dalam pembersihan sampah dan mengurangi efektifitas upaya konservasi serta menyulitkan upaya konservasi yang kami lakukan. dan
Dampak untuk lingkungan pesisir kami yaitu kerusakan ekosistem, pencemaran, kerusakan infrastruktur, mengancam spesies dan keanekaragaman hayati laut.
Q: Can you share some of the efforts your group has undertaken to address marine waste (e.g., clean-ups, eco-bricks, awareness campaigns)?
A: The efforts we’ve made to address marine waste include cleaning beaches, coastal areas, and the sea, as well as educating and raising awareness about the dangers and impacts of marine debris among students in our area, in schools, coastal communities, and by putting up signs on boats.
Q: Bisakah Anda membagikan beberapa upaya yang telah dilakukan kelompok Anda untuk mengatasi sampah laut (misalnya, kegiatan bersih pantai, eco-brick, kampanye kesadaran)?
Upaya-upaya yang telah kami lakukan untuk mengatasi sampah laut adalah bersih-bersih pantai, pesisir dan laut serta menjelaskan dan mensosialisasikan tentang bahaya dan dampak dari sampah laut pada siswa di lingkungan kami, di sekolah-sekolah, masyarakat pesisir dan menempel tulisan-tulisan di kapal.
Q: What challenges did you face in trying to turn plastic waste into eco-bricks or in managing waste in remote coastal areas?
A: The challenges we face include funding, transportation, waste management, the lack of a market for recycled waste products, and community awareness.
Q: Tantangan apa yang Anda hadapi saat mencoba mengubah sampah plastik menjadi eco-brick atau dalam mengelola sampah di wilayah pesisir terpencil?
Q: Tantangan yang kami hadapi adalah pembiayaan, transportasi, pengelolaan sampah dan pasar untuk hasil olahan sampah dan kesadaran masyarakat.
Q: How do you and your peers feel about the current state of marine waste and your ability to keep up with the growing problem?
A: I can’t even describe how we feel about the current state of marine waste in the sea, coastal areas, and beaches. There’s worry and uncertainty. The more we clean up, the more it feels like the trash isn’t decreasing—it’s increasing. We wonder how we can keep going despite all the limitations and challenges we’re facing.
Q: Bagaimana perasaan Anda dan rekan-rekan Anda tentang kondisi sampah laut saat ini dan kemampuan kalian untuk menghadapinya?
A: Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana perasaan kami dengan kondisi sampah yang berada di laut, pesisir dan pantai saat ini. Tentang kekhawatiran kami, kebimbangan kami, melihat sampah yang semakin kami bersihkan bukannya berkurang tapi malah seperti bertambah, tentang bagaimana kami bisa terus bergerak dengan segala keterbatasan yang ada seperti tantangan yang kami hadapi.
Q: In your opinion, why is it important for youth to be involved in marine conservation?
A: It is very important. Involving youth in marine conservation is like preparing or nurturing from an early age a generation that is more caring, more enthusiastic, and more aware of the benefits we will gain and the consequences that will arise when conservation is maintained — or neglected.
Q: Menurut Anda, mengapa penting bagi pemuda untuk terlibat dalam konservasi laut?
A: Sangat penting. Melibatkan pemuda dalam konservasi laut sama dengan menyiapkan atau memupuk sejak dini generasi yang lebih peduli, lebih antusias, lebih sadar tentang apa manfaat yang akan kita rasakan dan apa dampak yang akan timbul ketika ketika konservasi terjaga dan tidak terjaga.

Q: How do you see the role of young people compared to other groups such as women, elders, or Masyarakat Adat (customary people) in conservation?
A: The roles of all sectors — youth, women, elders, and customary people — are very important in conservation. So, it would be a mistake to compare them. All these parts of society should support one another, complement each other, and work together — especially in the area of conservation. We, as young people or the younger generation, are always ready and committed to be at the forefront of conservation efforts.
Q: Bagaimana Anda melihat peran pemuda dibandingkan dengan kelompok lain seperti perempuan, orang tua, atau masyarakat adat dalam konservasi?
A: Semua peran baik dari sektor pemuda,perempuan,orang tua dan masyarakat adat sangat penting untuk konservasi. Jadi, ketika kita keliru jika ingin membandingkan. Karena seharusnya semua bagian masyarakat tersebut harus saling mendukung, melengkapi dan bahu-membahu dalam segala hal utamanya dalam rana konservasi dan kami sebagai pemuda atau generasi muda selalu dan sangat siap menjadi garda terdepan untuk konservasi.
Q: What is your biggest concern if the marine waste issue continues as it is now?
A: My biggest concern is that if the marine waste problem is left unchecked, then in the next 5 to 10 years, fishers will shift to becoming farmers, and tourism—which currently focuses on the sea and coast—will be redirected to land-based tourism.
Q: Apa kekhawatiran terbesar Anda jika masalah sampah laut terus berlanjut seperti sekarang?
A: Kekhawatiran terbesar saya, jika masalah sampah laut ini terus dibiarkan maka dalam 5 sampai 10 tahun kedepan, nelayan akan beralih profesi menjadi petani, pariwisata yang awalnya di laut dan pantai akan dialihkan ke pariwisata darat.
Q: What kind of support do you think youth need—from the government, NGOs, or the community—to create real and lasting change?
A: We need a platform so that our efforts can create real and sustainable change, along with funding or financial support, continuous activities, waste transport vehicles, and proper equipment for clean-ups.
Q: Dukungan seperti apa yang menurut Anda dibutuhkan pemuda—dari pemerintah, LSM, atau masyarakat—untuk menciptakan perubahan yang nyata dan berkelanjutan?
A: Kami membutuhkan wadah agar yang kami lakukan dapat menciptakan perubahan dan berkelanjutan, biaya atau pembiayaan, kegiatan berkelanjutan, alat transportasi pengangkutan sampah, perlengkapan untuk pembersihan.